Dibalik Keindahan Merapi

Saya teringat pada tahun 2007 saat pertama kali saya mengunjungi daerah Kaliadem karena ada sebuah pekerjaan. Disana saya benar-benar merasakan betapa indah dan agungnya gunung Merapi jika dilihat dari jarak yang sangat dekat. Saya juga sempat melewati rumah dari juru kunci Merapi saat itu yaitu alm. Mbah Maridjan. Tidak begitu terlihat hasil erupsi yang terjadi pada tahun 2006. Hanya beberapa tempat saja yang terlihat abu-abu selebihnya hamparan tumbuhan hijau terlihat sejuk di depan mata.























Namun letusan secara berkala yang terjadi mulai Selasa 26 Oktober 2010 yang lalu benar-benar membuat saya sedikit panik. Selama 23 tahun saya tinggal di Jogja belum pernah saya merasakan hebatnya erupsi gunung Merapi hingga sehebat ini. Pada awal erupsi saya masih bisa tenang karena jarak rumah saya sekitar 25-27 km dari gunung Merapi sementara pemerintah sendiri mengumumkan bahwa batas aman radius gunung Merapi berjarak sekitar 5 km dari puncak. Saat itu kepanikan di jalan Kaliurang sudah mulai terlihat. Deringan sirine ambulans menggema dimana-mana. Saya berharap kejadian hanya berhenti pada malam itu saja. Ternyata sejumlah rentetan erupsi masih sering terjadi sehabis erupsi pertama dan jarak radius aman pun diperluas hingga 10 km. Oke, pada saat ini saya masih belum panik karena memang secara budaya dan mistis para masyarakat Jogja percaya bahwa Merapi tidak pernah akan menghancurkan kota ini. Kepanikan mulai terjadi ketika pada Sabtu, 31 Oktober 2010 dini hari hujan abu mulai melanda di sekitaran kota Jogja termasuk rumah saya. Saya mengetahui kabar ini melalui sms singkat dari pacar saya yang sedang berada di kereta menuju Jogja setelah melihat status teman-temanya di Facebook, sementara saya sendiri tertidur saat itu. Hujan abu tidak begitu tebal di daerah rumah saya, namun di beberapa sudut kota khususnya daerah barat terlihat sekali bagaimana tebalnya abu yang turun pada saat itu. Jogja seakan-akan mempunyai musim salju saat itu. Puncaknya pada tanggal 4 November 2010, mulai dari sore hingga malam hari terdengar bunyi gemuruh yang tidak berhenti. Bunyi gemuruh tersebut seakan bertambah kuat ketika mendekati dini hari. Tidak sampai situ saja, bunyi gemuruh tersebut diikuti dengan hujan pasir yang sangat deras dan mungkin hampir semua kota Jogja mengalaminya termasuk rumah saya. Satu lagi yang membuat keadaan ini semakin mencekam adalah listrik di sekitar rumah saya padam. Oke, saya benar-benar panik saat ini namun saya mencoba untuk tetap tenang dan berkomunikasi dengan teman-teman melalui pesan pendek. Radius aman pun yang awalnya 10 km tidak sampai satu hari berubah menjadi 15 km dan kembali berubah menjadi 20 km. Situasi ini merupakan sebuah pengalaman pertama dan menjadi sebuah pengalaman berharga bagi saya dalam menghadapi gunung Merapi. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan selain hanya mengamati kegelapan di luar atau memilih untuk tidur di dalam.

Kejadian alam semacam ini memang susah untuk diprediksi secara pasti. Mengutip kata-kata dari pak Surono (ketua PVMBG) "ketika seseorang sakit bahkan seorang dokter sekalipun tidak bakal tahu secara persis kapan orang tersebut bakal sembuh". Kita memang harus tetap waspada dan selalu berkoordinasi dengan relawan atau organisasi terkait mengenai kejadian semacam ini. Saya membaca di beberapa media bahwa memang ada beberapa orang yang sangat susah untuk diajak untuk mengungsi. Saya sendiri paham karena memang budaya mereka yang masih menganggap bahwa Merapi tidak pernah akan membahayakan mereka sendiri. Semoga saja dengan kejadian ini beberapa masyarakat yang tinggal di lereng Merapi semakin memahami bahwa mereka juga harus mempertimbangkan informasi yang dikeluarkan oleh pihak yang berkompeten dengan kejadian semacam ini demi kebaikan mereka sendiri. Dibalik semua itu kita harus tetap bisa berdamai dan hidup berdampingan selaras dengan alam. Merapi sudah lebih lama berada disini daripada semua warga Jogja manapun sudah sepatutnya kita untuk hidup selaras dengan gunung tersebut.
top